Bagi masyarakat Kristen, Perjanjian Baru adalah suatu dokumen penting yang berisi mengenai sejarah kelahiran Yesus, kematian, hingga pencurahan Roh Kudus serta awal terbentuknya jemaat Kristen mula-mula. Akan tetapi, pada kenyataan saat ini, Alkitab Kristen terdiri dari dua bagian, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Apakah Perjanjian Lama hanya merupakan sebuah dokumen tua yang usang dan tidak berkaitan dengan kekristenan saat ini?
Pertanyaan mengenai hal tersebut semakin berkembang dengan bukti munculnya banyak tulisan-tulisan yang membahas mengenai hubungan kedua kitab ini. Banyaknya tulisan yang muncul ternyata masalah pokok yang penting ini belum dipecahkan secara jelas selama dua puluh abad kehidupan Kristen. Dan kenyataan tersebut telah mempengaruhi seluruh teologi kekristenan.
Penyusunan Perjanjian LamA dan Perjanjian Baru
Sebagian besar kitab Perjanjian Lama dan kitab Perjanjian Baru ditulis di atas kertas Papyrus (irisan batang semacam tumbuhan ilalang yang diproses menjadi seperti kertas) atau perkamen (kulit binatang yang dikerjakan dan diolah menjadi lembaran yang halus sekali), jika salinan ini sudah tua atau rusak, maka akan dibuat salinan yang baru, sedangkan yang telah tua atau rusak itu dimusnahkan. Hal tersebut tidaklah mudah karena dalam penyalinan membutuhkan ketelitian penulis dalam mencermati pedoman yang ditentukan untuk menghindari kesalahan penyalinan semaksimal mungkin.
Kitab Perjanjian Lama mulai dikanonkan pada tahun 90 oleh para rabi Yahudi pada suatu konsili di Jamnia. Penulis meyakini bahwa tiap-tiap kitab memiliki tujuan penulisannya masing-masing. Akan tetapi oleh para Rabi kitab ini dikanonkan dan dianggap sebagai sautu perjanjian yang diberi nama Perjanjian Lama.
Kitab Perjanjian Baru dikanonkan pada tahun 367 oleh Athanasius yang dikenal sebagai pelopor lahirnya dogma trinitas dalam konsili Niscea.
Pada abad keempat, konsili-konsili Gereja Katolik dan para Paus secara resmi memutuskan bahwa alkitab telah dikanonkan dan tak ada pihak manapun yang dapat menambah atu mengurangi isi alkitab.
Hubungan Perjanjian Lama Dan Perjanjian Baru
Titik tolak dalam memahami masalah teologis mengenai hubungan kedua perjanjian dalam satu kitab terletak dalam alkitab itu sendiri. Perjanjian Lama sangat menekankan pengharapan akan masa depan, akan datangnya seorang penebus dan pembebas bagi Bangsa Israel. Hal tersebut terlihat sangat jelas melalui tulisan-tulisan tertua, eskatologi para nabi dan disusul tulisan-tulisan terkemudian.
Dalam Perjanjian Baru, berkesinambungan dengan tujuan atau pandangan Perjanjian Lama, yakni bahwa Perjanjian Baru mengutamakan penggenapan janji dan pengharapan-pengharapan yang terdapat dalam Perjanjian Lama.
Pada satu sisi, kedua Perjanjian itu memiliki beberapa sudut pandang dan pola yang sama, bahwa keduanya berbicara hal yang sama mengenai masalah-masalah pokok, khususnya dalam hal hubungan Allah dan manusia, manusia dengan sesamanya, dan lain sebagainya. Dan juga kedua perjanjian tersebut pada hakikatnya berkesinambungan dalam sejarah dan bersatu dalam teologinya. Akan tetapi, ternyata keduanya pun memiliki perbedaan, antara lain ialah banyaknya pemahaman dan praktek dalam Perjanjian Lama yang tergantikan oleh Perjanjian Baru, bahwa ciri khas Perjanjian Lama bersifat persiapan, sedangkan dalam Perjanjian Baru bersifat penggenapan, serta kehidupan masyarakat dalam Perjanjian Baru memiliki hubungan yang lebih pribadi dengan Allah, jauh melebihi masyarakat dalam Perjanjian Lama.
Menurut H. H. Rowley, kesatuan dan kesinambungan yang hakiki antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ditemukan dalam asalnya yang sama dari Allah, pengajaran yang sama mengenai Allah dan manusia, pola-pola yang sama dan prinsip-prinsip etika serta liturgy yang sama (Baker. 1996: 265). Pandangan lain yang menjelaskan mengenai hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru datang dari Th. C. Vriezen, yang berpendapat bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memiliki beberapa perspektif yang sama, di antaranya adalah konsep persekutuan, nubuat, dan kerajaan. Menurut Vriezen kepastian persekutuan yang langsung antara Allah dan manusia merupakan ide dasar dari seluruh kesaksian Alkitab, sehingga antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mempunyai hubungan satu dengan yang lain.
Secara historis-teologis, menurut Hasel (Baker, 1996: 289-295) terdapat hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yaitu sebagai berikut:
1.Hubungan tersebut dapat dilihat dalam sejarah umat Allah dan cara Allah berurusan dengan manusia.
2.Terdapat kutipan dalam Perjanjian Baru yang diambil dari Perjanjian Lama
3.Dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sama-sama menggunakan tema-tema teologis yang penting seperti pemerintahan Allah, umat Allah, pengalaman keluar dari perbudakan, perjanjian, Kerajaan Allah, ciptaan dan ciptaan baru serta masih banyak lagi.
4.Secara terbatas tipologi menguatkan bahwa terdapatnya hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
5.Adanya kategori janji dan penggenapan yang terdapat dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, hal ini memperlihatkan bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tak terpisahkan.
Selanjutnya hubungan antara Perjanjian Lama dengan Perjanjian baru, menurut Bright (1967: 136-138), Alkitab merupakan buku teologi, sehingga kesatuan Alkitab tergantung pada adanya kesatuan dalam teologi Alkitab. Perjanjian Lama, menurut Bright merupakan kitab yang mencatatkan sejarah nyata, dalam hubungan dengan suatu penafsiran teologis mengenai sejarah itu. Sejarah tersebut dimengerti sebagai suatu sejarah yang menuju suatu tujuan namun tidak sampai kepada tujuan tersebut. Jadi secara teologis Perjanjian Lama tidak lengkap, karena melukiskan suatu sejarah keselamatan yang di dalamnya keselamatan tersebut belum tercapai. Penggenapan dan penyempurnaan akan keselamatan tersebut hanya terdapat di luar batas-batas Perjanjian Lama, yakni pada Perjanjian Baru. Pada Perjanjian Baru tersebut, yang menjadi berita utamanya adalah Yesus Kristus telah datang, Allah telah bertindak secara nyata dalam menentukan sejarah manusia pada penggenapan janji-janjinya dan mencapai keselamatan. Melihat penjelasan di atas, dengan model struktur teologi yang melengkung, mempengaruhi masing-masing teks dengan menggunakan cara-cara tertentu, itu merupakan unsur yang hakiki dan normativ dalam Perjanjian Lama. Struktur tersebut merupakan suatu unsur yang mengikatnya tanpa terbukakan dengan Perjanjian Baru dalam Kanon Kitab Suci.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak hanya terdapat suatu kesinambungan atau hubungan secara historis saja melainkan juga memiliki suatu hubungan kesatuan historis.
KESIMPULAN
Hubungan kesatuan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terdapat suatu kesatuan namun tetap memberi ruang keragaman bagi kedua kitab tersebut. Dilihat secara histories, Agama Kristen berakar kepada agama Yahudi, maka Kekristenan tersebut tidak dapat menghilangkan keYahudiannya. Namun demikian, agama Kristen tetaplah bukan kelanjutan dari agama Yahudi, karena keduanya merupakan agama yang berbeda. Secara teologis, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru di dalamnya sama-sama membahas tema-tema penting. Tidak heran apabila hampir setiap kata kunci dalam Perjanjian Baru berasal dari bahasa Ibrani, yang pemakaian dan perkembangannya yang panjang di dalam Perjanjian Lama dapat ditelusuri. Namun demikian, berkat kedatangan Kristus dari surga telah menyempurnakannya, tema-tema teologis ini dalam Perjanjian Baru telah mengalami penafsiran ulang yang radikal.
Rabu, 21 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 ComMenT:
Posting Komentar